Atas dasar kekagumannya pada musik jazz – yang sebelumnya telah ia tampilkan dalam Whiplash (2014) – serta film-film musikal klasik seperti Singin’ in the Rain (Gene Kelly, Stanley Donen, 1952) dan The Umbrellas of Cherbourg (Jacques Demy, 1964), Damien Chazelle kemudian menggarap La La Land – yang konsep pengisahannya sendiri telah Chazelle susun jauh sebelum ia merilis Whiplash. Dan Chazelle sepertinya tahu benar tentang apa yang ingin ia sampaikan pada film musikalnya: sebuah kisah tentang anak manusia yang berusaha mencapai cita dan cintanya yang kemudian dibalut dengan deretan lagu-lagu bernuansa jazz yang membantu mereka melewati berbagai tantangan yang harus mereka hadapi dalam usaha untuk menggapai berbagai mimpi tersebut. Oh. Chazelle juga membungkus pengisahan tersebut dengan tampilan film-film musikal klasik Hollywood kegemarannya. Dan penuh warna. Sounds exciting but does it really work?
Alur pengisahan La La Land yang ditulis oleh Chazelle sebenarnya tidak menawarkan sebuah garisan penceritaan yang benar-benar baru. Dalam filmnya yang berlatarbelakang lokasi di Los Angeles, California, Amerika Serikat, Chazelle mengisahkan pertemuan antara seorang barista di sebuah kedai kopi yang sedang mengejar mimpinya untuk menjadi seorang aktris bernama Mia Dolan (Emma Stone) dengan seorang pianis jazz dengan berbagai tuntutan masalah finansial bernama Sebastian Wilder (Ryan Gosling). Tentu saja, keduanya kemudian saling jatuh cinta dan mendukung satu sama lain untuk menggapai harapan mereka. Namun, tantangan dalam kehidupan percintaan pasangan muda tersebut dimulai ketika kesuksesan kemudian datang menghampiri. Akankah kesuksesan mengubah keduanya?
Minimnya penggalian yang dilakukan Chazelle pada deretan konflik dan karakter dalam filmnya beberapa kali membuat La La Land hadir dalam nada yang datar dan cukup sumbang. Hal ini khususnya begitu terasa di pertengahan paruh kedua penceritaan film yang tampil menjemukan dan hampir saja merusak kualitas menyenangkan yang telah terbangun sejak awal penceritaan. Untungnya, momen lemah tersebut kemudian berhasil dipoles dan dihidupkan kembali dengan konflik yang terbangun lebih baik di paruh ketiga La La Land. Tidak sepenuhnya buruk. Pengisahan “tradisional” Chazelle pada La La Land masih mampu terlihat menarik dengan sentuhan komedi yang cukup segar serta kemampuan Chazelle dalam mengalirkan kisah tersebut dalam ritme yang tertata dengan baik.
Untuk setiap kelemahan yang dimiliki oleh naskah ceritanya, Chazelle berhasil menutupinya dengan konsep penyampaian cerita yang berhasil tereksekusi dengan luar biasa baik. Mulai dari tampilan a la musikal klasik Hollywood yang benar-benar mencuri perhatian, warna-warna terang yang menjaga suasana menyenangkan di banyak bagian film hingga tata sinematografi yang mampu menangkap atmosfer Los Angeles dengan seksama. Berbicara mengenai deretan lagu yang disajikan oleh film ini, komposer Justin Hurwitz yang berkolaborasi dengan duo penulis lagu, Benj Pasek dan Justin Paul, berhasil menghadirkan deretan lagu yang jelas akan melekat kuat di ingatan banyak penonton hingga lama seusai mereka menyaksikan film ini. Chazelle benar-benar hadir dengan konsep yang matang untuk musikalnya dan, dengan cerdas, mampu mengeksekusi setiap detil konsep tersebut untuk menjadi sebuah cinematic experience yang begitu mempesona.
La La Land juga diperkuat dengan penampilan akting Stone yang sensasional. Well… Gosling juga hadir dengan penampilan yang meyakinkan. Karakter Sebastian Wilder yang sebenarnya cukup klise mampu disajikan menjadi sosok yang dapat dengan mudah meraih simpati penonton berkat penampilan Gosling yang dinamis. Namun penampilan akting Stone di La La Land berada dalam tingkatan yang jauh lebih superior. Daya tariknya yang luar biasa besar menjadi nyawa utama bagi film ini – sebuah testimoni yang benar-benar dapat dirasakan ketika karakter Mia Dolan absen dalam beberapa adegan La La Land. Puncaknya, Stone mengerahkan seluruh jiwa dan raganya dalam menampilkan lagu Audition (The Fools Who Dream) yang mengisahkan masa kecil dan mimpi-mimpi karakternya dengan begitu emosional. Sebuah penampilan, terlepas dari karakter vokal Stone yang masih terasa mentah, yang akan menghantui semua orang yang menyaksikannya. Lewat La La Land – yang menjadi film ketiga mereka tampil bersama setelah Crazy, Stupid, Love. (Glenn Ficarra, John Requa, 2011) dan Gangster Squad (Ruben Fleischer, 2013) – Stone dan Gosling kembali menghadirkan chemistry yang terasa meyakinkan dan begitu mengikat. Chemistry yang jelas akan menjadikan perjalanan menempuh La La Land dipenuhi dengan momen-momen yang begitu emosional.
Rating :