Review

Info
Studio : Village Roadshow Pictures, Bazmark Productions
Genre : Drama, Romantic
Director : Baz Luhrmann
Producer : Baz Luhrmann, Douglas Wick, Lucy Fisher, Catherine Martin, Catherine Knapman
Starring : Leonardo DiCaprio, Tobey Maguire, Carey Mulligan, Joel Edgerton, Isla Fisher, Elizabeth Debicki

Selasa, 21 Mei 2013 - 02:04:31 WIB
Flick Review : The Great Gatsby
Review oleh : Rangga Adithia (@adithiarangga) - Dibaca: 1545 kali


Saya awalnya mengira film ini ada hubungannya dengan produk minyak rambut, hahahaha saya hanya bercanda, tentu saja saya tahu “The Great Gatsby” adalah sebuah film drama-romantis yang diadaptasi dari novel terkenal berjudul sama, karangan F. Scott Fitzgerald (hasil googling). Satu-satunya yang berkaitan hanya para pria tahun 20-an berambut klimis, tapi entah apa merk minyak rambutnya, yang pasti bukan gatsby (saya yakinkan ini bukan review berbayar). Oh dan film ini benar-benar mengkilat dari sisi visual, seperti rambut habis diminyaki, ok itu terakhir saya menyebut minyak rambut—enough. Seperti karya-karya sutradara Baz Luhrmann sebelumnya, “The Great Gatsby” tentunya akan dihiasi gaya norak dan nyeleneh Luhrmann, signature-nya itu masih sangat berasa ketika kita diajak mengunjungi New York di era 20-an. Saya belum menonton “Strictly Ballroom”, tapi “The Great Gatsby” punya aneka rasa campuran dari film-filmnya terdahulu, rasa kontenporer dari “Romeo + Juliet” yang “seenaknya” meng-MTV-kan drama William Shakespeare, rasa hingar-bingar-meriah “Moulin Rouge!”, dan megahnya rasa visual di “Australia”. Luhrmann saya akui selalu mampu membungkus film berunsur tragedi didalamnya, dengan sangat-sangat indah, gaya “sok asyik”-nya terkadang memang membuatnya terpeleset, tapi juga tak jarang membuat film-filmnya jadi punya adegan-adegan dengan style yang fantastis dan unik.

“The Great Gatsby” dibuka dengan curhat Peter Par…duh maksud saya Nick, Nick Carraway (Tobey Maguire), pria yang terlihat berantakan ini sedang ngobrol dengan dokternya, memuja-muji seorang pria bernama Gatsby, siapa sih Gatsby? Setelah menceritakan ambisinya untuk datang ke kota New York, yang pada saat itu sedang makmur-makmurnya, Wall Street berjaya, harga saham meroket terus dan gedung pencakar langit saling berlomba menjadi yang lebih tinggi. Nick yang lulusan Universitas Yale, dengan segala mimpi-mimpinya, bekerja sebagai broker dan kemudian menyewa sebuah tempat tinggal sederhana di Long Island, sebuah tempat bernama West Egg. Nah disinilah dia bertemu dengan Gatsby (Leonardo DiCaprio), tetangganya yang kaya raya dan punya rumah sebesar istana, namun sosok yang misterius. Walau setiap weekend di rumahnya diadakan pesta meriah dengan tamu orang-orang penting dan terkenal, Gatsby jarang terlihat muncul di pestanya sendiri. Hanya segelintir orang yang benar-benar kenal dengan Gatsby, sisanya pura-pura kenal dan sekedar tahu dari gosip-gosip murahan tentangnya, termasuk menyebut Gatsby adalah seorang mata-mata. Nick yang bukan siapa-siapa, tiba-tiba saja diundang ke pesta Gatsby, dari sinilah Nick akhirnya mulai kenal dengan tetangganya, usut punya usut ternyata undangan tersebut adalah modus Gatsby untuk pe-de-ka-te lagi dengan Daisy Buchanan (Carey Mulligan), sepupu Nick, yang adalah cinta lama Gatsby… come on! Gatsby! move on!

Memang yang namanya move on itu susah, oldsport—pengalaman yah? iya, aduh kenapa jadi curhat colongan begini. Di balik keglamorannya, “The Great Gatsby” menyembunyikan tragedi kelamnya, seorang yang tampak sempurna dari segala sisi, ganteng plus kaya raya, ternyata Jay Gatsby hanya seorang peng-galau sejati. Di antara pesta demi pesta meriah yang diadakan di rumah mewahnya, Gatsby tetaplah pria kesepian yang menunggu cintanya kembali. Lima tahun berpisah, Gatsby belum bisa move on dari Daisy Buchanan, yang sekarang sudah bersuami. Well, Gatsby adalah orang yang bisa mendapatkan apapun yang ia mau, politikus dan komisaris polisi adalah temannya, dia hanya tinggal menunjukkan kartunya dan seorang polisi yang berniat menilang Gatsby karena ngebut, langsung minta maaf. Mendapatkan wanita, tentunya perkara mudah buat Gatsby yang memiliki entah berapa orang pelayan di rumahnya tersebut. Susahnya,  dia hanya ingin, ingin dan ingin Daisy doang. Disinilah ketika obsesi mulai ikut turut campur, dan tinggal menunggu waktu obsesi meracuni cinta dan menjatuhkan Gatsby. Walau bercerita tentang cinta dan tragedi yang mengekor di belakang, Baz Luhrmann sekali lagi mampu mempresentasikan “The Great Gatsby” dengan caranya, masih seenaknya ketika menyembunyikan tragedi diantara megahnya kota New York, meriahnya pesta-pesta Gatsby yang liar dan karakter-karakternya yang berhias gemerlap kekayaan. Kita diperdaya sampai akhirnya tersadar dan kecewa.

Visualnya yang “palsu”, kebanyakan hasil kreasi CGI yang handal, diakui memang sukses membuat saya terhipnotis, khususnya di setengah jam awal. Apalagi saat Luhrmann terampil padu-padankan polesan digital-nya untuk menyatu dengan tata produksi dan artistik yang dibuat dengan sangat-sangat-sangat-sangat niat, tujuannya hanya satu membuat mata penonton terbuka lebar dan terpesona oleh visual indah yang kemudian disuguhkan “The Great Gatsby”. Sekali lagi saya akui paruh awal film ini begitu memperdaya saya dengan segala pernak-pernik tahun 20-an, dari gaya busana sampai gambaran kota pada saat itu, dari interior hingga eksterior apiknya yang kemudian menjadi latar belakang cerita. Saya diperdaya, sampai akhirnya tersadar betapa hampanya “The Great Gatsby” sebenarnya, saat pesta-pesta itu berakhir, ketika hingar-bingar soundtrackpengiringnya tak lagi terdengar riuh, film ini justru sepi, sesepi hati Jay Gatsby. Atau ini memang cara Luhrmann untuk membuat saya juga merasakan kesepian Gatsby? saya rasa sih tidak. Seperti visualnya yang palsu—tapi masih mampu untuk menghibur mata, karakter-karakternya pun palsu. Walau diperankan dengan sangat cemerlang, oleh para pemainnya—termasuk itu Leonardo DiCaprio, Carey Mulligan, Tobey Maguire, bahkan Elizabeth Debicki yang memerankan Jordan Baker—saya tidak bisa merasakan emosi yang ingin disampaikan setiap karakternya. Hasilnya saya jenuh sendiri saat film mulai melompat ke paruh kedua dengan konflik yang kian berkecamuk. Tapi sekali lagi film ini lack of emotion, jalinan chemistry antara Jay Gatsby dan Daisy Buchanan pun bisa dibilang flat. Iyah, “The Great Gatsby” bisa membuat saya girang penuh energi ketika “diundang” ke pesta, tapi begitu film berlanjut mengeksplor cerita lebih dalam, saya males-malesan.

Rating :

Share |


Review Terkait :

Comments

© Copyright 2010 by Flick Magazine - Design by Hijau Multimedia Solution. All Rights Reserved.